Kisah lahirnya
kaum punk diawali pada tahun 1971 ketika Lester Bangs, wartawan majalah
semi-underground Amerika, Creem, menggunakan istilah punk untuk mendeskripsikan
sebuah aliran musik rock yang semrawut, asal bunyi, namun bersemangat tinggi.
Musik tersebut dibuat dan digemari oleh para narapidana Amerika yang terkenal
brutal, sadis dan psikopat.
Pada tahun 1975
muncullah kaum punk . Penampilan kaum punk ini seringkali dikacaukan dengan
kaum skinheads. Term punk sendiri adalah bahasa slang untuk menyebut penjahat
atau perusak. Sama seperti para pendahulunya, kaum punk juga menyatakan dirinya
lewat dandanan pakaian dan rambut yang berbeda. Orang-orang punk menyatakan
dirinya sebagai golongan yang anti-fashion, dengan semangat dan etos kerja
’semuanya dikerjakan sendiri’ ( do-it-yourself ) yang tinggi. Ciri khas dari
punk adalah celana jins sobek-sobek, peniti cantel ( safety pins ) yang
dicantelkan atau dikenakan di telinga, pipi, asesoris lain seperti swastika,
salib, kalung anjing, dan model rambut spike-top dan mohican . Model rambut
spike-top atau model rambut yang dibentuk menyerupai paku-paku berduri adalah
model rambut standar kaum punk. Sementara model rambut mohican atau biasa
disebut dengan mohawk yaitu model rambut yang menggabungkan gaya spike-top dengan cukuran di bagian
belakang dan samping untuk menghasilkan efek bentuk bulu-bulu yang tinggi atau
sekumpulan kerucut, hanya dipakai oleh sedikit penganut punk. Kadang-kadang
mereka mengecat rambutnya dengan warna-warna cerah seperti hijau menyala, pink,
ungu, dan oranye.
Kata punk itu
sendiri lazim digunakan oleh kaum narapidana Amerika untuk nyebut partner atau
pasangan pasif dalam hubungan homoseksual. *Jijai Bo’..Najis Tralala..*
Because asal’e
saka tela para narapidana, nggak salah kalo sekarang kita lihat penampilan
anak-anak yang ngakunya punk ikut awut-awutan. Kaum punk memang bukanlah
tipikal anak muda masa kini yang doyan clubbing dan dugem. Jauh banget dengan
karakter metroseksual. Meski demikian keduanya punya satu kesamaan, yaitu pola
pikir dan sikap yang serba bebas. Sa’karepe dhewe. Bikin pusing tujuh puluh
tiga keliling.
Kegagalan
Reaganomic dan Di Indonesia, istilah anarki, anarkis atau anarkisme digunakan
oleh media massa
untuk menyatakan suatu tindakan perusakan, perkelahian atau kekerasan massal.
Padahal menurut para pencetusnya, yaitu William Godwin, Pierre-Joseph Proudhon,
dan Mikhail A Bakunin, anarkisme adalah sebuah ideologi yang menghendaki
terbentuknya masyarakat tanpa negara, dengan asumsi bahwa negara adalah sebuah
bentuk kediktatoran legal yang harus diakhiri.
Nah, beda banget
dari makna awal punk yang sejatinya adalah kaum homoseksual di penjara.
Pengertian punk yang sejati sebenarnya udah mati sebatas di penjara doang. Ga
laku kalo dibawa keluar penjara. Apalagi, masyarakat cenderung ga suka dan
nolak keberadaan punk dan punkers. Ga bakal ada orang yang doyan hombreng.
*Kecuali dia hombreng juga..Hehehe*.
Problemnya, ga
hanya masalah penampilan yang sering bikin orang lain gerah. Tapi komunitas punk
juga menggunakan kekerasan sebagai penyelesaian masalah. Malah, sampai saat ini
punk tetep identik dengan brutalitas dan vandalisme.
Akibat pengakuan
masyarakat yang tak kunjung datang alias mereka ga dianggap di tengah
masyarakat, kekecewaan berubah jadi bentuk protes. Padahal kalo kaum punk
introspeksi, mereka sendiri kan
ga ngakui tatanan masyarakat. *gimana mau diakui oleh masyarakat? Ngimpi
kali….*
Nah, lambat
laun, kaum punk mulai berganti haluan. Pemahaman aslinya pun hilang. Bentuk
protes mereka dijadikan lirik-lirik lagu. Punk kemudian berkembang sebagai
aliran musik, masih membawa ciri-ciri narapidana yang serba ga karuan.
Lagu-lagu punk lebih mirip teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia
*sa’noe Rek!*. Lirik lagu-lagu mereka berisi soal rasa frustrasi, kemarahan,
dan kejenuhan akibat kompromi dengan hukum. Selain itu, mereka bersuara tentang
rendahnya pendidikan, pengangguran, represi aparat dan kebencian pada penguasa.
Makna yang udah bergeser jauh ini, udah jadi bukti kalo sebenarnya punk dan
punkers itu sudah mati. Pengertian punk yang sejati udah kekubur di
penjara..PUNK IS DEAD DUDE!! Titik.
PUNK MASA KINI
Karena musiknya
yang mbrebeg’i kuping..maka band-band macam Punk ini hanya sedikit penggemar,
liat aja SexPistols. Apalagi isi dan lirik lagu band tersebut sebagian besar
bersuara tentang kebencian mereka kepada negara dan seluruh tatanannya alias
berjiwa pmberontak. Pantes, soalnya memang mereka ga tau aturan dan ga mau
diatur.
Namun kalahnya
Amerika Serikat dalam Perang Vietnam
di tahun 1980-an ikut manasin suhu dunia musik punk pada saat itu. Lahirlah
band-band atas nama punk gelombang kedua (1980-1984), seperti Crass, Conflict,
dan Discharge dari Inggris, The Ex dan BGK dari Belanda, dan MDC serta Dead
Kennedys dari Amerika. Meski demikian, syair yang mereka gunakan sebagai lirik
dalam lagunya, tak lagi tentang revolusi dan perlawanan. Namun lebih banyak ke
kebingungan diri untuk mencari arti hidup. Sebagian besar band itu, cuma
gunakan aksesoris punk untuk sekedar nambah nilai jual. Lagi-lagi cuma untuk
cari duit.
Punk Indonesia
Beberapa scene
punk di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang merintis usaha rekaman dan distribusi
terbatas. Mereka membuat label rekaman sendiri untuk menaungi band-band
sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian usaha ini
berkembang menjadi semacam toko kecil yang lazim disebut distro.
CD dan kaset
tidak lagi menjadi satu-satunya barang dagangan. Mereka juga memproduksi dan
mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik
(piercing) dan tato. Seluruh produk dijual terbatas dan dengan harga yang amat
terjangkau. Dalam kerangka filosofi punk, distro adalah implementasi perlawanan
terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja Levi’s, Adidas, Nike, Calvin
Klein, dan barang bermerek luar negeri lainnya.
Terbukti dengan
munculnya band yang mengatasnamakan punk di tahun belakangan ini seperti
Blink-182, Green Day, Bowling for Soup, New Found Glory, Sum 41, Good
Charlotte, dan Simple Plan, jika disimak, aliran musiknya terdengar jauh
berbeda dengan warna musik di awal kemunculan musik punk. Apalagi dengan makna
punk sebenarnya, uh, beda jauh bro. So, musik yang mengatasnamakan punk saat
ini, hanya sebatas plagiat gaya
dan penampilan ala punk saja. Nah, kalo band yang ngepunk hanya sebatas
plagiat, gimana ama temen-temen kita yang punkers itu. Tentunya mereka cuma
sekedar ikut arus doang. Ngikut gaya.
Padahal kalo ditanya esensi punk, paling-paling mereka lola alias loading
lambat. Malu atuh…
So…Punk Is
Dead…!!!!
Islam Tentang
Punk…
dan bahwa (yang
Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
agar kamu bertakwa. (Q.S Al An’am 6:153)
(yaitu)
orang-orang yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan menghendaki
(supaya) jalan itu bengkok. Dan mereka itulah orang-orang yang tidak percaya
akan adanya hari akhirat. (Q.S Huud 11:19)
Hadis riwayat
Abdullah bin Masud ra., ia berkata:
Allah mengutuk
wanita-wanita pembuat tato dan wanita-wanita yang minta dibuatkan tato,
wanita-wanita yang mencukur rambut wajah dan wanita-wanita yang minta
dihilangkan rambut wajahnya serta wanita-wanita yang merenggangkan gigi demi
kecantikan yang merubah ciptaan Allah. Perkataan Abdullah bin Masud itu sampai
kepada seorang wanita dari Bani Asad bernama Ummu Yaqub yang sedang membaca
Alquran. Lalu ia datang kepada Abdullah bin Masud dan berkata: Apakah benar
berita yang sampai kepadaku, bahwa engkau mengutuk wanita-wanita pembuat tato,
wanita-wanita yang minta dibuatkan tato, wanita-wanita yang minta dihilangkan
rambut wajahnya dan wanita-wanita yang merenggangkan gigi demi kecantikan yang
mengubah ciptaan Allah. Abdullah berkata: Bagaimana aku tidak mengutuk
wanita-wanita yang telah dikutuk oleh Rasulullah saw? Sedangkan itu disebutkan
dalam Kitab Allah. Wanita itu membantah: Aku sudah membaca semua isi Alquran,
tetapi aku tidak mendapatkannya. Maka Abdullah bin Masud berkata: Jika engkau
benar-benar membacanya, pasti engkau telah menemukannya. Allah Taala berfirman:
Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka ambilah dan apa yang ia larang
atas kalian, maka tinggalkanlah. Wanita itu berkata: Aku melihat sesuatu
(kejanggalan) pada istrimu dari yang engkau bicarakan ini. Abdullah bin Masud
berkata: Pergilah dan lihat! Wanita itupun menemui istri Abdullah bin Masud. Ia
tidak melihat suatu kejanggalan. Kemudian ia kembali kepadanya dan berkata: Aku
tidak melihat suatu kejanggalan. Abdullah bin Masud berkata: Jika seandainya
demikian (pada istriku terdapat sesuatu dari yang kubicarakan), tentu aku tidak
akan menyetubuhinya. (Shahih Muslim No.3966)
Hadits tentang
Tatto & Tindik diatas bukan cuman buat cewek Lhow…So masih mau nyoba ikut
Tato & Tindik?
Para pembaca
yang budiman, sadar atau tidak musik telah menjadi gaya hidup bagi sebagian kalangan remaja.
Aliran-aliran musik dijadikan ‘kiblat’ untuk way of life. Cuplikan liputan
berita diatas mungkin hanya sedikit dari sekian banyak kasus kematian yang
sia-sia hanya karena nonton konser. Sibermedik kali ini akan khusus membahas
tentang PUNK…*bener-bener kam-punk-an he..he..*
Sejak Marjinal
bermarkas di Gang Setiabudi, Setu Babakan, Jakarta Selatan, dari hari ke hari
kian banyak saja anak muda yang datang dan terlibat dalam program workshop.
Selain membuka workshop cukil kayu dan musik, Marjinal mengusahakan distro
sederhana. Sebuah lemari etalase diletakkan di beranda, menyimpan pelbagai
produk Taringbabi; dari kaos, kaset, pin, stiker, emblem, zine sampai buku-buku
karya Pramoedya Ananta Toer. Di dinding didisplay puluhan desain kaos, di ruang
tamu yang selalu riuh itu. Di tengah-tengah kotak display, ada gambar tengkorak
yang berbarik sebagai ikon Taringbabi.
Para punker biasanya datang
secara berkelompok. Biasanya mereka duduk-duduk di beranda depan, melepas
penat, setelah seharian berada di jalanan, sambil asyik ngobrol dan bermain
musik. Dengan ukulele (kentrung), gitar dan jimbe mereka menyanyikan lagu-lagu
Marjinal. Bob dan Mike pun ikut nimbrung bernyanyi bersama. Mike memberitahu
accord atau nada sebuah lagu, dan menjelaskan makna dari lirik lagu itu. Proses
belajar dan mengajar, secara tidak langsung terjadi di komunitas, dengan rileks.
Sebagian besar
anak-anak itu memilih hidup di jalanan, sebagai pengamen. Ada yang masih sekolah, banyak juga yang
putus sekolah. Mereka mengamen untuk membantu ekonomi orangtua. Sebagian besar
mereka berlatar belakang dari keluarga miskin kota, yang tinggal di
kampung-kampung padat penduduk; Kali Pasir, Mampang, Kota, Matraman, Kampung
Melayu, Cakung, Cengkareng, Cipinang dan lain sebagainya. Bahkan ada yang
datang dari kota-kota seperti Medan, Batam, Serang, Bandung, Indramayu,
Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Denpasar,
Makasar, Manado, dll. “Dengan mengamen mereka bisa bertahan hidup, dengan
mengamen mereka bisa membiayai sekolah dan membantu belanja sembako untuk ibu
mereka.,” kata Mike, aktifis Marjinal.
Jika sekilas
memandang penampilan mereka, boleh dibilang sebagai punk: ada yang berambut
mohawk, jaket penuh spike, kaos hitam bergambar band-band punk dengan pelbagai
slogan anti kemapanan. Kaki mereka dibalut celana pipa ketat dan mengenakan
sepatu boot, ada juga yang hanya bersandal jepit.
Bagi anak-anak
jalanan itu, Marjinal bagaikan oase, mata air yang menyegarkan kehidupan dan
hidup mereka, di tengah cuaca kebudayaan Indonesia yang masih memarjinalkan
anak-anak miskin kota, seperti yang didedahkan lirik lagu Banyak Dari
Teman-temanku berikut ini:
Banyak dari
teman-temanku / Lahir dari keluarga miskin / Di mana engkau enggan melihatnya,
disana tak sederhana / Tak ada lagi banyak pilihan / / Diantara bising kereta /
Dan sudut-sudut kumuhnya pasar / Di bawah terik matahari, disana tak sederhana
/ Tersangkut tajamnya pagar berduri / / Pelajar yang putus sekolah / Perempuan
dan pekerja kasar / Dibawah beban yang dipikulnya, mereka tak sederhana /
Terjebak pilihan yang berbahaya / / Tidur beralas tikar, dingin beratap mimpi /
Tapi semuanya sirna oleh kenyataan / Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala /
Disunat dipotong-potong dicincang-cincang / / Banyak dari teman-temanku yang
hidup dijalan sana / Dimana kau tak merindukannya mereka kian tersiksa /
Tergusur gagahnya gedung yang somse (sombong sekali ah!) / / Di balik tirai
yang suram dan dipinggir keangkuhan / Bergelut dengan kegelapan tersungkur di
kaki besi / Tertembus panasnya timah kebencian
***
Persoalan anak
jalanan di kota-kota besar di negeri ini sudah lama diperbincangkan, mulai dari
kampus, kelompok studi, sampai seminar di hotel berbintang lima. Namun, untuk mengurai persoalan ini
tidak mudah sebab menyangkut perut banyak orang. Banyak oknum yang memeras anak
jalanan.
Pada saat krisis
ekonomi, jumlah anak jalanan melonjak 400 persen. Sedangkan Departemen Sosial,
tahun 1998 memperkirakan, jumlah anak jalanan mencapai angka 170.000 anak. Anak
jalanan, secara umum akan dibilang anak jalanan yang masih tinggal dengan
orantuanya atau keluarganya dan anak jalanan yang benar-benar lepas dari
keluarganya serta hidup sembarangan di jalanan. Usia mereka 6-15 tahun.
Kehidupan anak
muda di jalan adalah satu subkultur. Sebuah subkultur selalu hadir dalam ruang
dan waktu tertentu, ia bukanlah satu gejala yang lahir begitu saja.
Kehadirannya akan saling kait mengait dengan peristiwa-peristiwa lain yang
menjadi konteksnya. Untuk memudahkan kita memahami gagasan mengenai subkultur
anak muda jalanan, mari mencermati peta antara hubungan anak muda dan orang
tua, serta kultur dominan sebagai kerangkanya.
Sekurang-kurangnya,
ada dua pihak yang –berkat dukungan modal yang melekat pada dirinya– berupaya
mengontrol kehidupan kaum muda, yaitu negara dan industri berskala besar. Di
Indonesia, pihak pertama yaitu negara berupaya mengontrol kehidupan anak muda
melalui keluarga. Keluarga dijadikan agen oleh negara, sebagai saluran untuk
melanggengkan kekuasaan.
Melalui UU No.
10/1992 diambil satu keputusan yang menjadikan keluarga sebagai alat untuk
mensukseskan pembangunan. Keluarga tidak hanya dipandang memiliki fungsi
reproduktif dan sosial, melainkan juga fungsi ekonomi produktif. Pengambilan
keputusan keluarga dijadikan alat untuk mensukseskan pembangunan, pada
gilirannya, membawa perubahan pada posisi anak-anak dan kaum muda dalam
masyarakat.
Negara memandang
anak-anak dan kaum muda sebagai satu aset nasional yang berharga. Karena itu,
investasi untuk menghasilkan peningkatan modal manusia (human capital) harus
sudah disiapkan sejak sedini mungkin. Dalam hal tugas orang dewasa adalah
melakukan penyiapan-penyiapan agar seorang anak bisa melalui masa transisinya
menuju dewasa. Akibatnya ada pemisahan yang jelas antara masa anak-anak dan
masa muda dengan masa dewasa. Adalah tugas orang tua untuk memberikan pemenuhan
gizi yang dibutuhkan, mengirim ke sekolah sebagai bagian dari penyiapan masa
transisi.
Saya Shiraishi
(1995) yang banyak mengamati kehidupan keluarga dan masa kanak-kanak dalam
masyarakat Indonesia
mutakhir mengatakan bahwa implikasi lebih lanjut dari gagasan keluarga modern
itu pada akhirnya menempatkan anak-anak sepenuhnya dibawah kontrol orangtua.
Orangtua menjadi kuatir bila anaknya tidak mampu melewati masa transisi dengan
baik, misalnya putus sekolah, dan akan terlempar menjadi kaum “tuna” (tuna
wisma, tuna susila dan tuna lainnya), kaum yang kehidupannya ada di jalanan.
Kekuatiran ini
bisa dilihat secara jelas dengan streotipe mengenai kehidupan jalanan sebagai
kehidupan “liar”. Bukanlah satu hal yang mengada-ada bila kemudian para. orang
tua lebih memilih untuk memperpanjang proteksi anak-anaknya untuk berada di
dalam rumah sebab lingkungan di luar rumah dianggap sebagai”liar” dan mengancam
masa depan anaknya. Pilihan untuk memperpanjang masa proteksi anak-anak inilah
yang kemudian ditangkap sebagai peluang niaga oleh para pengusaha.
Belakangan ini
dengan mudah kita bisa melihat berbagai produk atau media untuk membantu
penyiapan masa transisi anak-anak. Berbagai media cetak dan elektronika
mengeluarkan berbagai produk bagaimana menyiapkan anak secara “baik dan benar”
dalam rangka pengembangan sumber daya pembangunan. Para
orang tua pada. gilirannya akan lebih mengacu pada berbagai media itu sendiri
dibandingkan pada peristiwa sehari-hari yang dialami oleh anaknya.
Cara membesarkan
anak yang diimajinasikan oleh negara dan pemilik modal inilah yang kemudian
menjadi wacana penguasa (master discourse) untuk anak-anak Indonesia. Ia
digunakan sebagai alat untuk menilai kehidupan keseluruhan anak dan kaum muda
di Indonesia.
Hasilnya seperti yang ditunjukkan Murray (1994)
adalah mitos kaum marjinal: yang dari sudut pandang orang luar menggambarkan
orang-orang ini sebagai massa
marjinal yang melimpah ruah jumlahnya dengan budaya kemiskinan dan sebagai
lingkungan liar, kejam dan kotor … sumber pelacuran, kejahatan dan ketidakamanan.
Jalan raya
bukanlah sekadar tempat untuk bertahan hidup. Bagi kaum muda tersebut jalanan
juga arena untuk menciptakan satu organisasi sosial, akumulasi pengetahuan dan
rumusan strategi untuk keberadaaan eksistensinya. Artinya ia juga berupaya melakukan
penghindaran atau melawan pengontrolan dari pihak lain.
Sebuah kategori
sosial, anak jalanan, bukanlah satu kelompok yang homogen. Sekurang-kurangnya
ia bisa dipilah ke dalam dua kelompok yaitu anak yang bekerja di jalan dan anak
yang hidup di jalan. Perbedaan diantaranya ditentukan berdasarkan kontak dengan
keluarganya. Anak yang bekerja di jalan masih memiliki kontak dengan orang tua,
sedangkan anak yang hidup di jalan sudah putus hubungan dengan orang tua.
Soleh Setiawan,
seorang anak jalanan yang sudah hampir dua puluh tahun hidup di jalan
menuturkan pengalamannya. Katanya, waktu kecil ia banyak ngeluyur di kampung
Arab lalu sempat sekolah di Al-Irsyad, sebuah sekolah ibtidaiyah di Pekalongan.
Tapi ia lebih senang bermain di jalan dibanding sekolah, lebih banyak bermain
dari pada belajar. Sejak kecil dia tidak mengenal orangtua kandungnya. Dia
dibesarkan seorang pamannya yang juga lebih banyak hidup di jalan. Seorang
dokter yang cukup terpandang di Pekalongan mengadopsinya. Tetapi Soleh kecil selalu
tidak merasa betah tinggal di rumah itu walau segala kebutuhannya dicukupi oleh
orangtua angkatnya. Dia lebih sering bermain di luar rumah, sehingga orangtua
angkatnya murka. Soleh pun minggat dari rumah. Dengan menumpang kereta api
barang, ia pergi ke beberapa kota di Jawa, lalu
ikut kapal penangkap ikan dengan rute pelayaran Kalimantan – Bali.
Ia bekerja sebagai koki kapal selama 3 bulan.
Ketika pertama
kali hadir di jalan, seorang anak menjadi anonim. Ia tidak mengenal dan dikenal
oleh siapapun. Selain itu juga ada perasan kuatir bila orang lain mengetahui
siapa dirinya. Tidaklah mengherankan bila strategi yang kemudian digunakan
adalah dengan menganti nama. Hal ini dilakukan untuk menjaga jarak dengan masa
lalunya sekaligus masuk dalam masa kekiniannya. Anak-anak mulai memasuki dunia
jalanan dengan nama barunya. Ketika hidup di jalanan, Soleh dipanggil Gombloh
karena sering nggambleh, bergelantungan di mobil atau kereta api, pergi ke mana
pun tanpa tujuan. Biasanya anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan
menggganti dengan nama-nama yang dianggap sebagai nama “modern” yang diambil
dari bintang rock atau yang yang biasa didengarnya misalnya dengan nama John,
Jimi, Tomi dan semacamnya.
Proses
penggantian sebutan itu dengan sendirinya menunjukkan bahwa ia bukan sekadar
pergantian panggilan saja tetapi juga sebagai sarana menanggalkan masa lalunya.
Artinya ia adalah bagian dari proses untuk memasuki satu dunia (tafsir) baru.
Sebuah kehidupan yang merupakan konstruksi dari pengalaman sehari-hari di jalan.
***
Apakah mereka
memahami apa itu punk?
Mike: Terus
terang gua ngasih acungan jempol buat teman-teman yang hidup di jalan… Mereka
punya kebanggaan, berpenampilan ngepunk, mereka tetap bertahan walau
orang-orang sekitar yang melihat menilainya macam-macam. Bagi gua itu sebuah
bentuk perlawanan juga. Melawan pikiran-pikiran orang yang sudah dimapankan —
yang menganggap negatif karena melihat penampilan orang lain yang beda,
menyimpang, diluar kelaziman. Tapi yang lebih penting adalah nilai-nilai punk
dalam prakteknya berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana mereka bisa
survive, menjalin kebersamaan, saling peduli satu sama lain dan tetap
mengunggulkan rasa dan kebebasan. Hidup di jalanan kan penuh tantangan. Apalagi sesusia mereka,
ada yang masih anak-anak, yang orang bilang diluar kewajaran — ketika anak-anak
yang lain kan
sekolah, pulang ke rumah, bermain, latihan ini dan itu, les piano … Mereka
hidup di jalanan mencari uang untuk membantu orangtua. Kadang dikejar dan
digaruk trantib. Digertak atau diperas orang yang sok jagoan, macho… Tapi dalam
posisi bertahan hidup di jalan, mereka mandiri, sehat, gembira, dan punya rasa
humor. Buat gue itu penting, manusiawi banget!
Tapi, di sisi
lain Mike prihatin ketika melihat para punker yang hidup di jalan, hanya
menjadikan jalanan sebagai tempat nongkrong dan mabuk-mabukan. Mereka mencari
uang dengan mengamen tapi hasil jerih payahnya itu hanya untuk membeli
obat-obatan (drugs) dan minuman beralkohol. Mereka masih berusia belasan tahun,
tiba-tiba memutuskan berhenti sekolah dan lari dari rumah, karena terpengaruh
teman-teman nongkrong . Mereka menenggak minuman dan menelan puluhan tablet
dextro (tablet obat batuk yang disalahgunakan untuk mabuk). Banyak dari mereka
adalah perempuan berusia dini, dan menjadi korban pelecehan seksual.
Bagi mereka,
punk sebatas tempat pelarian. Lari dari kesumpekan rumah. Lari dari tekanan
hidup. Lari dari tanggungjawab. Lari dari kenyataan! Di kepala mereka, dengan
berpenampilan diri seperti punker, mereka bisa bebas dari segala bentuk tekanan
hidup, bebas semau-gue, bebas nenggak minuman atau menelan puluhan tablet
dextro, bebas mengekspresikan diri sebebas-bebasnya walau masyarakat di
sekitarnya terganggu, seperti yang terjadi berikut ini:
Pada suatu siang
yang gerah, empat anak-muda (belasan tahun) berjalan oleng di depan squat
Marjinal. Mereka sudah beberapa kali mondar-mandir, dan seorang diantaranya
berwajah pucat, matanya terpejam, dalam keadaan mabuk berat, sehingga menjadi
tontonan warga. Ketika ditanya tujuannya hendak ke mana, mereka cuma
menggeleng-gelengkan kepala sambil meringis.
Anak-anak
kampung Setiabudi (berusia belasan tahun) pun mengarak mereka ke pinggir kali.
Segala atribut punk yang melekat di tubuh mereka dilemparkan ke kali, sambil
diteriaki,”Pecundang! Pecundang! Pecundang!” Setelah itu, mengusir mereka.
Kejadian serupa,
akhir-akhir ini banyak terjadi di beberapa tempat di Jakarta. Bahkan ada aksi kriminal, seperti
kasus perkosaan yang terjadi di terowongan Casablanca yang dilakukan segerombolan orang
yang beratribut punk, yang diceritakan Kodok (personil Bombardir). “Begitu
mendengar kejadian itu, gue bareng warga menyisir beberapa tempat yang biasanya
jadi tempat nongkrong mereka,” ujar Kodok dengan nada tinggi.
Squat Marjinal
juga sering kedatangan para orangtua yang mencari keberadaan putrinya —
(seperti Nia dari Citayam). Belum lagi pertanyaan-pertanyaan para ibu tentang
putra-putri mereka yang berperilaku “aneh” di mata mereka. “Rambut diwarnai
merah, sering diluar rumah, dan malas sekolah, maunya pergi jauh ke Jawa
padahal gak megang duit” kata seorang ibu dari Pondok Kopi.
Sampai saat
tulisan ini dibuat, masyarakat awam masih memandang Punk sebagai sebuah
organisasi yang terpusat. Sehingga wajar saja apabila para orangtua menanyakan
segala sesuatu menyangkut putra-putrinya ke squat Marjinal. Pada kenyataannya,
punk adalah satuan-satuan kecil komunitas yang menyebar. Di luar itu, adalah massa cair seperti yang
dipresentasikan para gerombolan yang beratribut punk di jalanan.
Berbeda dengan
gerombolan yang beratribut punk di jalanan yang ngamen untuk mabuk, punk
jalanan yang beken juga di sono disebut street punk adalah sebuah gerakan
budaya tanding ( counter cilture) yang melawan kemapanan budaya dominan yang
dibentuk oleh sistem kekuasaan. Street punk muncul di Inggris pada tahun
1980-an, pada masa rezim Perdana Menteri Margareth Thatcher, dari Partai
Konservatif, yang kebijakan ekonominya sangat liberal, memberi peluang
kapitalis mengembangkan pasar modal (ekonomi uang) tetapi di sisi lain
mengabaikan kelas pekerja, sehingga pengangguran pun merajalela. Ketika
pabrik-pabrik menutup lowongan pekerjaan, bahkan memecat banyak karyawannya
dengan alasan efesiensi, masyarakat kelas pekerja menggunakan jalanan sebagai
tempat mencari nafkah, membuat jejaring-kerja, serta aksi protes yang diselingi
karnaval dan musik.
Sebagai
sub-kultur Punk terinspirasi oleh karya-karya seni perlawanan. Antara lain,
dari novel karya Charles Dickens, yang sebagian besar menceritakan nasib
anak-anak (dari panti asuhan) yang dipaksa bekerja sebagai pembersih cerobong
asap di pabrik-pabrik yang menggunakan teknologi mesin uap untuk menggenjot
produksi pada era Revolusi Industri. Anak-anak itu merasa tersiksa bekerja
sehari-semalam, tanpa makanan yang cukup, di tempat-tempat yang kumuh tidak
berpenerangan. Mereka akhirnya memberontak, menolak segala bentuk eksploitasi!
Mereka lari dari panti-asuhan! Lalu memutuskan hidup secara kolektif. Mereka
menggunakan jalanan di London
sebagai sumber mencari nafkah dan ilmu-pengetahuan. Dan terbebas dari
eksploitasi.
Bagi seorang
punk, jalanan adalah kehidupan. Di jalanan mereka bertemu dengan orang-orang,
di jalanan mereka saling berbagi pengetahuan, di jalanan mereka berdagang, di
jalanan mereka menyuarakan kebenaran melalui nyanyian. Pada 1980-an, terjadi
bentrokan hebat antara punker dan hippies, karena perbedaan persepsi tentang
kehidupan di jalanan. Bagi hippies, jalanan adalah ruang publik sebagai tempat
mereka mengekspresikan kemuakan akan kehidupan yang diwarnai perang dan ancaman
nuklir. Di jalanan mereka berdemonstrasi membagi-bagikan bunga, seks bebas (war
no, sex yess) dan menenggak obat-obatan (drugs) –mereka ingin lari (escape)
dari kehidupan ini. Kebalikannya, punk melihat kehidupan ini sebagai projeksi,
tergantung si individu itu untuk melakukan perubahan. Perubahan itu dimulai
dari yang tidak ada, doing more with less, menjadi sesuatu yang ada dan
berarti. Punk tak pernah lari dan sembunyi ketika dihadapkan pada problematika
kehidupan. Hadapi! Tuntaskan!
Melihat fenomena
gerombolan yang beratribut punk yang nongkrong, mabuk dan mondar-mandiri di
Jakarta akhir-akhir ini, tidak perlu dipertanyakan lagi… Mereka bukan punk!
Mereka hanya beratribut punk tetapi jalan hidupnya adalah hippies! Hanya
hippies yang lari dari kehidupan, dengan nenggak minuman dan obat-obatan
(drugs), mereka lari dari kebebasan (escape from freedom). ***
*) Tulisan ini
nukilan dari manuskrip buku “ Marjinal: Punk – Blaut!”oleh Haska
Tidak ada komentar:
Posting Komentar